Rendahnya rasio pajak di Indonesia menjadi isu yang belum kunjung terselesaikan. Pada tahun 2022, rasio pajak Indonesia hanya mencapai 10,39%. Angka ini menempatkan Indonesia jauh di bawah negara-negara ASEAN seperti Thailand (17,18%), Vietnam (16,21%), Singapura (12,96%), dan Kamboja (12,04%). Indonesia hanya unggul dibanding Laos, Myanmar, dan Brunei. Fenomena ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan memperkuat struktur perpajakan, terutama di sektor UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional.
Apa Itu Rasio Pajak?
Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak suatu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam periode tertentu. Indikator ini menggambarkan sejauh mana negara mampu mengumpulkan pajak dari seluruh aktivitas ekonomi domestiknya. Di Indonesia, rendahnya rasio pajak sering kali disebabkan oleh tingkat kepatuhan pajak yang rendah, terutama di sektor informal yang mendominasi struktur ekonomi negara.
Tantangan Sektor Informal
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, sekitar 59,11% pekerja di Indonesia terserap di sektor informal. Kondisi ini menimbulkan tantangan besar dalam pengelolaan pajak karena sektor informal cenderung sulit terdeteksi oleh sistem negara. Penelitian Bank Dunia dalam Informality Exit and Exclusion (2007) menunjukkan bahwa sektor informal di negara-negara berkembang seperti Indonesia cenderung memiliki tingkat kepatuhan pajak yang rendah, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
1. Ketidakpercayaan terhadap negara: Persepsi bahwa negara tidak mampu mengelola sumber daya publik secara adil.
2. Ketimpangan ekonomi: Kesenjangan yang tinggi antara pelaku usaha sektor formal dan informal menciptakan hambatan dalam menciptakan lapangan permainan yang setara (level playing field).
Peran UMKM
UMKM merupakan salah satu pilar terpenting dalam ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2021:
1. Jumlah UMKM mencapai 64,2 juta.
2. Kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07% (Rp8.573,89 triliun).
3. Menyerap sekitar 117 juta tenaga kerja atau 97% dari total tenaga kerja.
4. Menghimpun 60,4% total investasi nasional.
Meskipun kontribusinya signifikan terhadap perekonomian, penerimaan pajak dari sektor UMKM masih tergolong rendah. Pemerintah telah memberikan berbagai insentif perpajakan, seperti penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final dari 1% menjadi 0,5% dan pembebasan PPh Final bagi UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun. Namun, insentif ini belum mampu mendorong peningkatan signifikan dalam penerimaan pajak sektor UMKM.
Masalah Utama UMKM
Beberapa hambatan yang dialami UMKM dalam perpajakan meliputi:
1. Kurangnya kemampuan administrasi perpajakan: Banyak pelaku UMKM belum mampu melakukan pembukuan dan pencatatan yang sesuai standar.
2. Ketidakseimbangan regulasi: Tidak adanya level playing field yang adil menyebabkan banyak UMKM tidak mampu bersaing dengan pelaku usaha besar, terutama di tingkat global.
Reformasi Perpajakan untuk UMKM
Untuk mengatasi masalah tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan reformasi, di antaranya:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018: Mengatur pengenaan PPh Final 0,5% bagi wajib pajak dengan peredaran bruto hingga Rp4,8 miliar per tahun. Aturan ini bertujuan memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM.
2. UU Nomor 2 Tahun 2020: Mengatur pemungutan PPN atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Regulasi ini memberikan kesetaraan antara pelaku usaha lokal dan internasional dalam kewajiban memungut dan menyetorkan PPN.
Coretax
Sebagai bagian dari reformasi, DJP akan mengimplementasikan sistem informasi baru bernama Coretax mulai 1 Januari 2025. Coretax dirancang untuk:
1. Mengintegrasikan data wajib pajak melalui penggabungan NIK sebagai NPWP.
2. Mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
3. Meningkatkan efisiensi pengawasan dan pengumpulan pajak.
Dengan Coretax, DJP berharap rasio pajak Indonesia dapat meningkat hingga 12%. Sistem ini juga memungkinkan DJP untuk lebih mudah mendata pelaku UMKM yang telah beralih ke ranah digital, yang saat ini jumlahnya mencapai 27 juta pelaku usaha.
Selengkapnya : Proses Transisi ke Coretax di 2025: Mempersiapkan Masa Depan Perpajakan Digital
Tantangan Implementasi Coretax
Meskipun menjanjikan, implementasi Coretax menghadapi beberapa kendala, seperti:
1. Pendataan pelaku usaha digital: DJP memerlukan koordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menentukan pelaku usaha yang memenuhi kriteria sebagai Pemungut PPN PMSE.
2. Perlunya dukungan dari ILAP: Data dari Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain (ILAP) sangat penting untuk mendukung pengawasan dan pendataan wajib pajak sektor informal.
Peningkatan Rasio Pajak
Meningkatkan rasio pajak bukan hanya tanggung jawab DJP, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk pelaku usaha, masyarakat, dan instansi pemerintah lainnya. Dengan sistem perpajakan yang lebih baik dan dukungan berbagai pihak, Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam rasio pajak di tingkat ASEAN.
Pertanyaan yang Sering Diajukan
1. UMKM dikenakan pajak berapa? UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun dibebaskan dari Pajak Penghasilan Final. Untuk omzet di atas Rp500 juta, dikenakan tarif PPh Final sebesar 0,5% sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
2. Bagaimana kriteria UMKM yang dibebaskan pajak? UMKM dengan omzet tahunan tidak melebihi Rp500 juta berhak atas pembebasan pajak, sesuai dengan kebijakan pemerintah yang bertujuan mendorong pertumbuhan sektor UMKM.
3. Kenapa harus ada pajak UMKM? Pajak UMKM berfungsi untuk meningkatkan penerimaan negara, menciptakan kesetaraan dalam kontribusi terhadap pembangunan, serta memberikan dasar yang adil bagi pelaku usaha dalam persaingan.
4. Apa yang dimaksud UMKM di dalam peraturan perpajakan? Dalam perpajakan, UMKM merujuk pada pelaku usaha dengan peredaran bruto tahunan maksimal Rp4,8 miliar, yang dikenai pajak dengan tarif khusus untuk mendukung pertumbuhan usaha mereka.
Sumber : www.pajak.go.id